Oleh: Mh. Fadil
Jancuk, saya memahami maknanya sebagai ungkapan cinta. Tentu bukan cinta yang terbatas pada diri sendiri saja. Tentu itu masih obscur. Tetapi cinta terhadap seluruh harapan terjadinya kesempurnaan, idealitas kerohanian makna. Entah itu bersifat metodologis; suatu keinginan atas prosedur yang benar dan terpercaya seperti dalam budaya ilmiah, atau cukup sebatas pragmatis, praktis, seperti dirasa sekarang, yang selalu menjamur subur tak terstruktur.
Jancuk, yang telah terlanjur sebagai salah satu karya simbolik manusia, menjadi bukti yang bukan sekedar menempatkan kita sebagai homo sapiens, bukan sebagai manusia berfikir semata. Tetapi lebih jauh lagi sebagai animal symbolicum. Sebagai satu²nya makhluk Tuhan yang berfikir dengan kecerdasan akalnya, mampu menemukan fenomena apapun, dengan memilih-memilah, mengelolanya, hingga menghimpun dari tiap² pengetahuan yang baru untuk dilekatkan sebagai aneka simbolik, tentu diidamkan dengan status objektif.
Jancuk, sebagai objek dan sarana manusia dalam berkata², semestinya difahami bukan sebagai beban apalagi hingga sebagai problem. Itu apabila kita selalu mau sadar atas resiko yang telah ditakdirkan Tuhan kepada kita sebagai manusia; makhluk yang paling sempurna. Dengan kemampuan berbahasa, manusia menjadi satu²nya makhluk yang unggul dalam menemukan kata-perkata; apapun itu. Tidak seperti ayam yang hanya bisa berkata; kuk-kuruyuukk, kok-kok petook, atau seperti lembu; hookk- hoook, dan juga pada contoh² yang lainnya.
Baca Juga: Bohir dan Demokrasi
Jancuk, seiring dengan berjalannya waktu dapat menjadikan diantara manusia satu dengan lainnya akan dapat saling menerima, atau bahkan mungkin tetap masih menolaknya. Tentu yang terakhir ini boleh saja diberikan catatan; mungkin karena tidak pas dalam penggunaannya; kontekstual, karena belum terasa akrab untuk dirasa, atau diduga kuat masih sangat konvensional, yaitu; keterbatasan daya, rasa, hingga cakrawala bijaksana.
Jancuk, pendek kata adalah sebagai simbol bermuatan makna yang sangat luas. Sebagai contoh, terkadang terungkap sebagai rasa takjub; "Jancuuuk, cantik sekali cewek itu!". Rindu; "Jancuk, kapan ya aku bisa berlibur ke pulau Lombok?". Khawatir; "Jancuk, di google maps ternyata terlihat macet, apakah mereka terlambat atau tidak ya sampai ditempat?". Kecewa; "Jancuk, ternyata semua teman sekelas keliru, apa yang dibaca, malah tidak keluar pada materi ujian!", dan lain-lainnya. Tentu semua itu bermuara makna bahwa rasa sebagai pesona tertinggi, sebagai bentuk sarana dari tiap² manusia untuk memenuhi harapan²nya yang terbaik.
Makna terbaik, memang bukan harus suatu kebenaran. Baik, membeda dari 2 pilar lainnya, tentang benar dan pantas. Karena baik, kebaikan, selalu saja masih sebatas pada "rasa²nya enak untuk dirasakan". Tetapi Jancuk yang telah terlanjur ada sebagai alat, sebagai sarana kebahasaan, apakah boleh juga dipandang telah final berstatus sebenar²nya objektif?, atau sebaliknya, cukup saja disadari sekedar sebagai salah satu ragam subjektivitas, yang tentu cukup berhenti pada status hipotetis?, yang tentu 'beresiko' terus saja bergulir, terus diuji, terus berproses dalam pengayaan. Sehingga terus berstatus subjektif, terus berivalitas dengan 'musuh' metodologis lainnya, yang telah establised, mapan, yaitu; ragam objektivitas.
Salam Jancuk.
*Bidang Hukum Dewan Kesenian Jawa Timur
Artikel Terkait
Kuasa Bohir, Sang Penyihir
Seribu Langkah Bohir
Bohir dan Demokrasi
Kuasa Media dan Tragedi Anomali Perilaku Anak Bangsa
Puisi 19