Oleh
Fredy Rahalus
demokrasi tanpa kehadiran sang demos (rakyat). demokrasi kita, alih-alih menyediakan kesetaraan kondisi-kondisi, ia justru menghasilkan kondisi-kondisi ketidaksetaraan. ia justru membiarkan ekspansi pasar. demokrasi kita, alih-alih melindungi pluralitas, ia malah membiarkan pertumbuhan kekuatan-kekuatan ekstrem religius. Pandangan terhadap demokrasi yang demikian tentu berangkat dari data dan fakta yang mendukung pandangan tersebut. Sebagaimana dikutip dari hasil riset dan analisis majalah tersohor di Inggris, The Economist tentang laporan indeks demokrasi tahun 2021. Dalam laporan tersebut ditemukan bahwa dari sisi tren demokrasi dimana dari 167 negara yang diukur, terdapat 74 negara yang mengalami penurunan dan 46 negara yang stagnan, dan 47 negara yang mengalami kenaikan. Dihadapkan pada data ini, lalu arah perhatian dan pemikiran kita tentu langsung tertuju pada kondisi demokrasi Indonesia. Dari 167 negara yang diukur tren demokrasinya, posisi Indonesia mengalami tren kenaikan yang cukup signifikan dengan total skor 6,71 dan berada di peringkat ke 52 dunia dengan status demokrasi cacat (flawed democracy).
Berangkat dari data tentang tren kenaikan demokrasi di Indonesia tentu tidak harus membuat kita jumawa dan menikmati euphoria tersebut sembari menutup mata pada kondisi demokrasi saat ini dan yang akan datang. Juga skor demokrasi Indonesia ini tidak selalu bermakna bahwa kondisi dan kualitas demokrasinya sebagai yang terbaik. Maka dari itu, demokrasi di Indonesia harus dilihat dari beberapa aspek yang mungkin sedikit banyak menjadi faktor penentu berjalan atau tidaknya demokrasi itu. Berdasarkan hasil analisis dari The Economist Intelligent Unit (EUI) khususnya dalam konteks demokrasi di Indonesia bahwa dua aspek yang harus terus didiskusikan dan diperdebatakan dalam diskusi tentang demokrasi yakni aspek kebebasan sipil dan budaya politik yang selalu rendah dan dapat menurunkan mutu demokrasi. Namun, sebelum masuk ke dalam pembahasan tentang aspek-aspek penting dalam demokrasi terlebih dahulu harus dipahami apa yag dimaksudkan dengan demokrasi itu sendiri, apa yang diidealkan dalam demokrasi, dan bagaimana sebenarnya demokrasi yang ideal tersebut.
demokrasi dalam definisi klasik Yunani berasal dari dua kata yakni demos (rakyat) dan ktatos (pemerintahan). demokrasi merupakan istilah sosial politik yang muncul dalam sejarah pemerintahan di Athena sejak abad V SM. Athena dikelola secara demokratis karena warga negara berpartisipasi secara aktif dalam penentuan kebijakan kehidupan bersama. Setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan untuk terlibat secara langsung dalam diskusi dan penentuan kebijakan masyarakat. Definisi lain tentang demokrasi tentu sangat banyak dan beragam, seperti Habermas yang menitikberatkan demokrasi pada ruang publik. Ruang publik sebagai ruang diskursus bersama untuk mencapai satu konsensus bersama dalam rangka menentukan norma-norma hidup bersama. Kemudian, dalam pemikiran Derrida bahwa “demokrasi tidak pernah bisa sesuai dengan dirinya sendiri. demokrasi selalu akan datang, tidak pernah di sini. demokrasi Derrida adalah sesuatu yang anti utopia.
demokrasi bagi Derrida adalah demokrasi yang akan datang (democracy to come). Ini bukan berarti bahwa demokrasi ditunda di masa depan, namun demokrasi tersebut tidak akan pernah terjadi. Derrida menggunakan istilah aporia (jalan buntu) untuk menjelaskan bahwa demokrasi tidak akan pernah ada. demokrasi selanjutnya menjadi konsep pemandu tindakan-tindakan kita dan tetap akan menjadi sebuah panduan. Mengapa demikian? Hal tersebut untuk menghindarkan kita dari jebakan untuk menetapkan apakah demokrasi itu dan bagaimana demokrasi harus dipaksakan.
Baca Juga: Bohir dan Demokrasi
Lebih lanjut misalnya dalam terang pemikiran seorang filsuf besar Perancis Jacques Ranciere mencoba memberikan warna baru dalam definisi tentang demokrasi. Baginya demokrasi adalah tindakan subjektifikasi politik yang mengganggu tatanan sosial (police) yang dilakukan oleh demos untuk memverifikasi kesetaraannya. Verifikasi kesetaraan dilakukan oleh demos. Tindakan demos tersebut, selain mengandaikan kesetaraan, juga bertitik tolak pada kesetaraan. Artinya, tindakan yang dilakukan oleh demos berdasarkan pada pemahaman bahwa dirinya setara dengan kelompok-kelompok yang ada di dalam tatanan sosial dominan tersebut. Dari definisi-definisi di atas tentang demokrasi, tersirat di dalamnya bahwa definisi demokrasi selalu terbuka dan tidak pernah bersifat final. Terlepas dari definisi di atas, kita mengarah pada kondisi demokrasi Indonesia dewasa ini dan bagaimanakah konsep ideal demokrasi dalam konteks Indonesia dewasa ini.
Laporan EIU menempatkan Indonesia pada urutan 64 dari 167 negara, sedangkan laporan Indeks demokrasi Indonesia memperlihatkan turunnya skor indeks kebabasan berpendapat yang semula 66,17 di tahun 2018 menjadi 64,29 di tahun 2019.1 Adapun laporan 2021 Democracy Report menempatkan Indonesia pada urutan 73 dari 179 negara dalam hal kebebasan dalam demokrasi. Berangkat dari ketiga laporan demokrasi tersebut menunjukkan adanya pergeseran dalam pola demokrasi Indonesia yang semula adalah demokrasi elektoral menuju pada demokrasi yang cacat. Pemahaman mendasar dari pergeseran ini adalah pemilu tidaklah menjamin akan melahirkan para pimpinan yang mampu menyejahterakan rakyat. Lebih lanjut lagi bahwa adanya pandemi covid-19 ini telah memberikan dampak luar biasa terhadap sektor sosial dan ekonomi. Dampak pandemi dalam kedua sektor tersebut telah memberikan adanya situasi yang tidak menentu dalam demokrasi di Indonesia sekarang ini. Secara lebih khusus, selain halnya kebebasan menurun yang berkembang menjadi praktik intoleransi, yang paling krusial adalah inkonsistensi dalam pemerintahan yang diakibatkan oleh perilaku para elit politik. Persoalan inkonsistensi dan juga intoleransi ini secara ringkas mencakup tiga poin utama, yakni semakin kuatnya pengaruh militer dalam ruang-ruang sipil, segregasi sosial berbasis identitas ideologi, dan juga dinasti politik?
Dalam aspek kebebasan sipil yang berada dalam kategori buruk dapat dilihat dari adanya kasus-kasus yang muncul didominasi oleh ancaman yang berhubungan dengan kegiatan politik berupa pemilu dan pemilihan legislative. Aparatur Sipil Negara masih saja menjadi korban praktek politik kotor para calon anggota legislatif yang dekat dengan kekuasaan. Pemenuhan hak kebebasan sipil warga dalam beberapa hal masih mengalami hambatan yang cukup serius. Hambatan tersebut disebabkan oleh beragam faktor, di antaranya faktor kultural dan struktural. Faktor kultural, antara lain belum dihayatinya nilai-nilai keadaban dalam berdemokrasi. Kondisi tersebut terlihat dari belum terwujudnya budaya egalitarian, budaya damai dan toleransi, serta budaya penghormatan terhadap mereka yang berbeda. Akibatnya, masih sering ditemukan sikap dan perilaku sejumlah aparat pemerintah pusat dan Pemda dan juga sebagian masyarakat yang kurang demokratis, seperti sikap arogan dan intoleran yang menggiring mereka menjadi anarkis, mudah mengamuk dan berperilaku brutal yang mencederai nilai-nilai demokrasi.
Kemudian, faktor struktural muncul dalam bentuk berbagai regulasi dan kebijakan publik yang diskriminatif dan membatasi hak-hak asasi warga negara. Dalam setiap peristiwa politik (terutama pilkada, pileg, pilpres), para calon bersama tim suksesnya masih sering menggunakan sentimen-sentimen primordial SARA sebagai satu-satunya strategi untuk merebut suara pemilih. Disamping itu, masyarakat juga belum cukup terdidik secara politik untuk menerima dan menghargai perbedaan. Konsep toleransi hanya berhenti pada perilaku mengizinkan, menyabarkan atau tidak mengganggu. Masyarakat belum terdidik untuk menerima konsep yang lebih mendasar yakni akseptansi, mengakui atau menerima dan menghormati atau menghargai perbedaan. Ke depan, dibutuhkan upaya-upaya serius bagi peningkatan kualitas diri aparat dan juga masyarakat dalam bentuk pendidikan dalam arti seluas-luasnya, utamanya pendidikan politik dan pendidikan kewarganegaraan. Melalui pendidikan tersebut, diharapkan aparat pemerintah pusat dan pemda mampu mengelola kehidupan warga yang begitu beragam sekaligus bijak mengelola konflik dan perbedaan pendapat.
Sebaliknya, bagi masyarakat, pendidikan tersebut dimaksudkan agar mereka menjadi lebih matang berpolitik, tidak mudah terprovokasi melakukan aksi-aksi anarkis terhadap mereka yang berbeda pendapat, sekalipun mereka adalah lawan politik. Diharapkan aparat pemerintah dan elit-elit masyarakat semakin dewasa dalam arti semakin menghayati nilai-nilai keadaban (civic virtues), khususnya yang terangkum dalam nilai-nilai Pancasila. Jika masyarakat semakin demokratis diharapkan mereka akan lebih mampu mengontrol diri untuk tidak bersikap atau berperilaku intoleran, diskriminatif, anarkis serta prejudice terhadap sesama warga dengan alasan apa pun. Selain itu, pemerintah pun diharapkan lebih mampu mengelola masyarakat yang begitu beragam. Penghormatan terhadap manusia dan nilai-nilai kemanusiaan merupakan syarat utama bagi penegakan demokrasi substansial. Tanpa kehadiran nilai-nilai keadaban tersebut, demokrasi yang kita bangun dengan susah payah, selamanya akan berwujud pencitraan belaka. Dengan ini kita dapat menilai bahwa demokrasi kita masih berada pada fase demokrasi prosedural, belum memasuki fase demokrasi substansial. Untuk menuju kesana memang diperlukan proses yang panjang, dengan didukung oleh semua aspek yang menyangkut kesiapan struktur, substansi dan kultur demokrasi yang matang dan berkualitas.
Lebih lanjut bahwa dalam demokrasi Indonesia dewasa ini yang nampak terjadi dapat dilihat dari menguatnya peran aktif militer dalam segala urusan sipil dan sektor publik. Tentu ini secara umum tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap demokrasi Indonesia. Namun jika ini dibiarkan dan terus berlangsung maka akan berdampak pada sikap netralitas TNI dalam menciptakan tata tertib sosial. Pelibatan militer yang berlebihan untuk melakukan intervensi lebih jauh ke penegakan tata tertib ini kontradiktif dengan adanya prinsip netralitas tantara yang idealnya fokus kepada masalah pertahanan. Hal ini yang sekiranya bisa berdampak pada turunnya kualitas demokrasi.
Lebih jauh daripada itu, penulis mencoba mengkritisi salah satu isu tentang wacana pemberlakuan sistem pemilu proporsional tertutup. Sistem ini lebih dapat dipahami sebagai sistem pemilihan umum yang hanya memungkinkan masyarakat memilih partai politiknya saja, bukan calon wakil rakyat secara langsung. Saat pemilu dengan sistem ini, pemilih hanya mencoblos tanda gambar atau lambang partai dalam surat suara karena tidak tersedia daftar kandidat wakil rakyat di surat suara. Sistem pemilu proporsional tertutup merupakan salah satu jenis sistem pemilu proporsional. Sistem pemilu proporsional yaitu sistem pemilihan dengan jumlah penduduk berimbang dengan jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di daerah pemilihan (dapil). Pada sistem pemilu proporsional tertutup, kursi wakil rakyat akan diberikan pada para calon berdasarkan nomor urut. Berbeda dengan sistem pemilu proporsional tertutup, sistem pemilu proporsional terbuka adalah sistem pemilu dengan pemilih dapat mencoblos nama atau foto kandidat langsung yang dicantumkan di surat suara. Pada sistem pemilu proporsional terbuka, partai politik menyediakan daftar kandidat wakil rakyat untuk dimasukkan ke surat suara. Kandidat yang meraih suara terbanyak lalu terpilih sebagai wakil rakyat.
Kemudian, dari sini dapat dilihat bahwa sisem pemilu proporsional tertutup memiliki kelebihan yakni mendorong peningkatan peran partai politik dalam kaderisasi sistem perwakilan, mendorong institusionalisasi partai politik, mempermudah penilaian kinerja partai politik, menekan politik uang ke masyarakat dan korupsi politik. Sedangkan kekurangan sistem pemilu proporsional tertutup yakni terjadinya pengkondisian mekanisme pencalonan kandidat wakil rakyat yang tertutup, menguatnya oligarki dan nepotisme di internal partai politik, terbukanya potensi politik uang di internal partai dalam bentuk jual - beli nomor urut, kurangnya kedekatan calon wakil rakyat dengan pemilih, calon wakil rakyat kurang aspiratif, pendidikan politik berkurang bagi masyarakat. Kemudian kelebihan dari sistem pemilu proporsional terbuka adalah mendorong calon lebih dekat pemilih, mengurangi nepotisme, meningkatkan sistem perwakilan di DPR. Dan kekurangan dari sistem pemilu proporsional terbuka adalah meningkatnya ongkos politik dan korupsi-kolusi sistematis, kurangnya standar kualifikasi pencalonan, kurangnya peran dan gagasan partai politik.
Berangkat dari adanya wacana tentang sistem pemilu proporsional tertutup tentu ini menjadi catatan tersendiri bagi jalannya demokrasi di Indonesia dewasa ini. Wacana pemberlakuan sistem pemilihan ini menandakan pengangkangan terhadap kebebasan rakyat dalam memilih dan menentukan wakilnya di parlemen. Dari sisi pendidikan demokrasi ini merupakan suatu kemunduran kebebasan bagi rakyat dalam menentukan wakilnya di parlemen. Sistem proporsional tertutup akan menyuburkan oligarki di dalam partai politik. Dan ini akan menjadi bom waktu yang akan merusak kemajuan demokrasi kita di masa yang akan datang.
demokrasi prosedural akan kita langsungkan pada tahun 2024. Namun, pertanyaan paling mendasar ialah apakah yang procedural itu melahirkan yang substansi. Kita tidak hanya menjamin hak sipil dan politik terselenggara pun terlebih penting hak ekonomi dan sosial budaya juga terpenuhi. demokrasi pada akhirnya akan mengantarkan kita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, semoga!!!
Artikel Terkait
Mahfud Sebut Demokrasi Indonesia Sedang Tak Baik, Ini Respon LaNyalla
Prof Bagir Manan Luncurkan Buku Problematika Pers dan Kualitas Demokrasi
Dewan Pers Sebut UU KUHP Mengancam Kemerdekaan Pers dan Demokrasi
11 Pasal UU KUHP Ancam Kemerdekaan Pers dan Demokrasi, Dewan Pers: Berbahaya
Bohir dan Demokrasi