Weruh (ilmu) sak titip tetep wehno, tularno ben berkah

- Jumat, 31 Maret 2023 | 20:41 WIB
Mbah Yongki menandatangani kerjasama dengan Penerbit Media Nusa Creative Publishing untuk menerbitkan buku Nyai Puthut, sebuah karya terakhirnya.Dok.M Nasai (HO/KLIKTIMES.COM)
Mbah Yongki menandatangani kerjasama dengan Penerbit Media Nusa Creative Publishing untuk menerbitkan buku Nyai Puthut, sebuah karya terakhirnya.Dok.M Nasai (HO/KLIKTIMES.COM)

Oleh M Nasai

Sebenarnya aku enggan berkisah tentang Mbah Yongki, karena aku fikir semua rasa ku terhadap alm ingin aku miliki sendiri, ingin aku dekap sendiri. Dan aku meyakini bahwa kebaikan apapun jangan sampai diketahui orang, biar itu menjadi rahasia diri dengan Tuhan. Namun aku kembali berfikir mbah Yongki selalu mengajarkan untuk selalu membantu. Mbah Yongki selalu berbagi, selalu berfikir orang lain, beliau mengajarkan secara langsung ataupun tidak langsung, "weruh (ilmu) sak titip tetep wehno, tularno ben berkah".

Dan aku tersadar, bahwa rasaku bisa juga milik orang lain, mungkin ilmu dan pengetahuanku bisa saja milik orang lain, atau bahkan materi ku bisa saja milik dan rejeki orang lain.

Untuk itu ijinkan aku melepas rasa "kepemilikanku" atas kisah sosok Mbah Yongki. Aku mengenal Mbah Yongki saat awal embrio majalah Pasar Senggol DKM lahir. Saat itu aku masih aktif menjadi jurnalis di Malang online, media online  yang berkantor di sulfat. Kebetulan guru hidup dan sekaligus pimrednya adalah Pak Madrim, seorang "sufi" di jalur media yang darinya aku juga banyak berguru laku hidup, ya sama seperti pada alm. Mbah Yongki, aku selalu Nyantrik.

Pak Madrim, seorang jurnalis yang dimasa aktif sebagai wartawan di media cetak, berhasil masuk mobil pribadi Gus Dur dan ikut plesir perjalanan tokoh NU itu. Dari kenekatan dirinya menyelinap itulah, liputan khusus wawancara dengan Gus Dur mendapat apresiasi kolega dan teman sejawatnya di media.

Pak Madrim mengenalkanku pada Mbah Yongki, yang saat itu bersama mas Abdul Malik dan pengurus DKM lainnya sedang membuat majalah Pasar Senggol. Mbah Yongki memanggilku atas rekomendasi dari pimpredku Pak Madrim. Masih ingat betul saat itu pagi jam 9 an. Aku temui Mbah Yongki di DKM jl. Majapahit yang bersebelahan dengan pasar burung splendit itu.

Mbah Yongki mengajak ku bergabung di majalah Pasar Senggol sebagai tukang foto. Aku pun mengiyakan dan ikut berproses di majalah budaya terbitan DKM ini. Dari sinilah perkenalan dan kedekatan ku dengan Mbah Yongki bermula.

Selama bersama beliau, aku banyak belajar dan ikut hanyut pada pemikiran dan ide-ide beliau, terlebih pada rasa kemanusiaan. Mbah Yongki meski (nyuwun sewu) dalam ekonomi kesehariannya terbilang kurang. Beliau berani membantu orang lain, meski harus menggadaikan atau menjual barang miliknya. Mbah Yongki selalu mendorong teman-teman budaya yang sudah sukses untuk eling dan membantu seniman-seniman yang masih sulit ekonominya. Mbah Yongki selalu memikirkan seniman lain, dengan mensuport pikiran hingga materi.

Tali asih, adalah buah pemikiran Mbah Yongki, sebuah kerja kemanusiaan secara gotong royong untuk sambang dan silaturahmi kepada seniman-seniman pinggiran yang lama terabaikan. Beberapa kali ikut hanyut dalam giat ini, dan Mbah Yongki memperjumpakan kami dengan banyak orang yang berbeda background dan latar belakang, dari usahawan sukses, relawan sosial, kawan-kawan jurnalis, seniman berbagai latar keahlian, dan banyak lagi yang ikut bergotong royong pada giat tali asih. Saya merasakan lingkaran perkawanan Mbah Yongki yang melampaui sekat-sekat.

Berkah pertemanan tanpa sekat itulah, dalam hajat tali asih ini donasi mengalir dari mana saja, dan tali asih bisa memberikan sedikit bantuan untuk teman sejawat seniman dan budayawan yang mulai dilupakan oleh masyarakat seni. Kursi roda, sembako hingga alat bantu pendengaran bisa disumbangkan tepat sasaran kepada seniman-seniman yang membutuhkan, itu semua karena Mbah Yongki dan energi positif kawan-kawan yang ikut serta dalam tali asih.

Mengetuk jiwa jiwa sosial dan kemanusiaan juga kerap Mbah Yongki sampaikan ketika mendapati seniman sepuh yang sedang sakit. Dan dengan energi ini aku kembali dipertemukan oleh Mbah Yongki dengan orang- orang tulus dalam kemanusiaan. Yang hingga akhir hayat alm Mbah Yongki, lingkaran energi ketulusan ini kuat dan mengitari kehidupan seniman sepuh identik dengan hijet 1000 ini.

Mbah Yongki terus berjuang dalam garis yang telah dipilihnya, permainan tradisional Nyai Puthut salah satunya, yang hingga akhir hayatnya terus di perjuangkan. Tidak hanya ditampilkan dalam giat-giat kesenian, Mbah Yongki juga memperjuangkan dan mendaftarkan permainan tradisional ini untuk di akui sebagai warisan budaya takbenda. Mbah Yongki tak pernah menyerah dan lelah, ke Jakarta dengan nyupir sendiri, atau bahkan keliling ke beberapa kota untuk mengenalkan Nyai Puthut ke masyarakat. Tidak hanya lapisan masyarakat seni, Mbah Yongki juga masuk ke kalangan generasi muda untuk memperkenalkan kembali Nyai Puthut.

Ditemani mobil tua hijet 1000, Mbah Yongki menapaki tiap ruang untuk memperkenalkan permainan tradisional kembali dikenal generasi milenial. Mbah Yongki tak segan menyediakan tenaga dan waktunya untuk siapapun yang menghendaki dirinya bisa hadir dalam kegiatan seni budaya. Tak pernah berfikir honor atau bahkan dirinya ikut menyumbang dalam kegiatan kesenian.

Bukan hanya itu, Mbah Yongki adalah seorang motivator, orang yang sangat telaten memberikan energi positipnya untuk kemanusiaan. Semasa aku "bertapa" dan ingin meninggalkan  kebudayaan dan enggan berkegiatan seni budaya, Mbah Yongki lah yang rutin dan menyempatkan menjenguk ku di desa Jabung. Mbah Yongki menyemangati dan terus berharap untuk aku bisa kembali bergerilya, Mbah Yongki tak lelahnya menyambangi meski beliau lelah dari kegiatan yang padat, beliau sempatkan mampir walau hanya 5 menit dan terus balik.

Halaman:

Editor: Abdul Malik KT

Tags

Artikel Terkait

Terkini

AI dan Budaya Kampung Pedesaan

Senin, 5 Juni 2023 | 09:36 WIB

Revitalisasi Sepak Bola Kota Malang

Kamis, 1 Juni 2023 | 20:04 WIB

Pancasila, Kebudayaan, dan Bina Bangsa

Kamis, 1 Juni 2023 | 12:05 WIB

Pertumbuhan Jaranan dan Bantengan di Malang

Rabu, 31 Mei 2023 | 09:34 WIB

Pendidikan Yang Berpihak Pada Peserta Didik

Selasa, 30 Mei 2023 | 09:19 WIB

Hobbes, Strategi Perubahan Sosial dan Rawon

Senin, 22 Mei 2023 | 14:39 WIB

SMK Sura Dewa Menyadari Pentingnya Literasi

Sabtu, 20 Mei 2023 | 23:50 WIB

Karya Seni, Penjara dan Terciptanya Kebudayaan

Kamis, 18 Mei 2023 | 22:18 WIB

RUNAPHORIA: Wahana Ekpresi Runa

Kamis, 18 Mei 2023 | 21:35 WIB

Hidup Yang Begejekan

Kamis, 11 Mei 2023 | 10:08 WIB
X