Nyi Puthut dari Mbok Gundari ke Mbah Yongki

- Selasa, 28 Maret 2023 | 19:39 WIB
Yongki Irawan, Nyi Puthut, Ki Demang.Dok.Ki Demang (HO/KLIKTIMES.COM)
Yongki Irawan, Nyi Puthut, Ki Demang.Dok.Ki Demang (HO/KLIKTIMES.COM)


Oleh : Ki Demang
Penjumpaan saya pertama kali dengan Mbah Yongki begitu saya memanggil laki-laki sepuh yang bernama asli Yongki Irawan terjadi di tahun 2016. Tepatnya di Makam Mbah Reni area Pemakaman Polowijen. Saat itu beliau melakukan orasi budaya tepat di depan makam dalam rangka Peresmian Situs Makam Ki Tjondro Suwono (Mbah Reni) dan Situs Joko Lolo sebagai Situs Budaya kelurahan Polowijen kecamatan Blimbing Kota Malang. Mbah yongki menyampaikan bahwa di ujung barat makam Polowijen terdapat makam Mbok Gundari yang tidak lain adalah cucu Mbah Reni.

Waktu kecil Mbok Gunadari selain belajar menari topeng beliau juga belajar dan bermain Nyi Puthut. Nyi Puthut adalah permainan khas tradisional Gaya Malang yang mirip denga Nini Thowok. Bedanya Nini Thowok permainan tradisional yang berasal dari Jogjakarta atau Surakarta yang menggambarkan wanita tuanya bersifat baik hati, sedangkan Nyai Puthut berasal dari wanita tua yang masih gemar berdandan, yang lekas marah dan tidak senang jika ada orang yang mengolok-olok dandanannya. Setidaknya permainan Nyi Puthut dan Nini Thowok sama sama menggunakan boneka yang kurang lebih permainannya ini hampir mirip sepertti jailangkung.

Berdirinya kampung Budaya Polowijen tidak lepas dari keterlibatan Mbah Yongki dalam memberikan masukan dan saran serta keterangan beliau tentang ragam macam kesenian apa saja yang dulu pernah ada di Polowijen. Mulai dari seni jaranan, ludruk, ketoprak, wayang topeng hingga wayang Ope (wayang yang terbuat dari Ope termasuk permainan Nyi Puthut yang dulu pernah di mainkan oleh Mbok Gundari. Melalui sarasehan budaya polowijen yang pertama di Balai RT 3 RW 2 Polowijen Oktober 2016 Mbah yongki menyampikan bahwa Nyi Puthut adalah permainan yang di mainkan oleh Mbok Gundari.

Demikian pula sarasehan budaya Polowijen yang ke 2 di gelar di akhir desember di rumah warga RT 3 RW 2 Polowijen yang punya hajat hitanan cucunya Mbah Yongki kembali menyunggung soal Nyi Puthut. Selang dua bulan berikutnya sarasehan Budaya Polowijen ke 3 di PKBM Zam-Zam Polowijen Pimpinan Bapak H. Abdilah Hanafi kehadiran Mbah yongki memberikan spirit bahwa perlunya mendirikan sebuah kampung bernama Kampung Budaya Polowijen dengan membangkitkan kembali ragam khasanah kesenian tradisi dan budaya Polowijen dan salah satunya adalah Nyi Puthut yang menjadi mainan tradisiolan oleh Mbok Gundari kala itu.

Baca Juga: Uji Kompetensi Batik di KBP, Ridwan Hisyam Dorong Ekosistem Batik di Malang

Saya mengenal Mbah Yongki lebih dekat ketika mbah Yongki menyelenggarakan pelatihan Tari Topeng Grebeg Jowo di Sekolah Budaya Tunggulwulung Kota Malang. Pelatihan tari topeng yang di pandu oleh pak Eko Ujang dan Bu Endar zulaifah yang di ikuti lebih dari 80 peserta. Banyak pengayaan materi diluar dari materi seni tari topeng itu sendiri diantaranya materi tentang ragam kesenian dan tradisi Malangan. Sekali lagi tentang Nyi Puthut juga di singgung di pelatihan tari topeng Grebeg jowo di sekolah Budaya Tunggulwulung.

Ada momentum yang paling berharga bagi saya atas kehadiran Mbah Yongki pada saat Peresmian Kampung Budaya Polowijen 2 April 2017 yang di resmikan Walikota Malang H. Anton. Diantara rangkaian ragam macam acara ada sesi pertunjukan Nyi Puthut dan Bambu Gila yang di mainkan oleh Mbah Yongki. Tentu ini memikat para pengunjung yang di nanti-nantikan oleh puluhan anak anak polowijen saat itu. Tak terkecuali mahasiswa yang turut hadir juga terlibat memainkan Nyi Puthut dan Permainan Bambu Gila. Suasana sangat ramai meriah sekaligus menegangkan bagi mereka yang terlibat dan turut serta memainkan.

Menurut penuturan Mbah Yongki dulu permainan Nyi Puthut di mainkan saat malam bulan purnama atau tepat di gelar saat candrakirana, Untuk mengudang arwah yang mau di datangkan dikumandangkan mantra mantra serta diiringi dengan gamelan jawa. Begitu arwah masuk kedalam boneka yang di dandani sedemikian rupa dengan dandanan perempuan maka boneka tersebut seakan akan hidup bahkan dapat meloncat loncat.

Ada yang menarik dari permainan Nyai Puthut ini. Sifat emosional menjadikan penonton juga harus terlibat aktif dalam permainan ini, Kisah tentang arwah perempuan yang di hadirkan kembali dama permainan Nyi Puthut ini konon di ceritakan adalah seorang pelacur demikian disebut dalam mantra manta yang di bacana dan akhirnya perempuan tersbut menjadi bidadari. Teknik bermain selain di dandani terlebih dahulu, caranya harus dengan menyisir rambut di depan kaca dan di sinari melalui terang rembulan yang bersinar sempurna.

Saya melihat konsistensi Mbah Yongki sangat piawai memainkan permainan Nyi Puthut ini sebagai salah satu bentuk komitmen mengenalkan kembali permainan tradisional yang masuk dalam salah satu objek pemajuan kebudayaan. Nyi Puthut yang selalu hadir dalam berbagai momentum acara-acara kesenian dari kampung ke kampung, sanggar ke sanggar kampus ke kampus sebagai media sosialisasi dan mengenalkan kembali tentang salah satu permainan tradisional Khas Malang.

Sangat jarang dan langka para seniman dan budayawan di Kota Malang memanfaatkan hal-hal seperti ini yang bersifat tradisional sebagai salah satu cara untuk membangun identitas diri sebagai salah satu cara menunjukkan keakuannya sebagai seniman atau budayawan. Betapa sangat cerdas langkah yang di tempuh oleh Mbah Yongki sebagai pelaku seni budaya yang tidak hanya sekedar mahir memainkan permainan Nyi Puthut, tatapi justru ini di manfaatkan untuk menyemaikan nilai nilai budaya yang harus terus dilestarikan. Melalui Permainan tradisonal Nyi Puthut Mbah yongki adalah satu satunya pelestari tradisi yang tersisa saat ini yang paling aktif mengenalkan permainan ini.

Jenis permainan tradisional ini sungguh bukan sekedar permainan biasa. Melainkan permainan yang sarat akan pesan dan makna diantaranya setiap orang bagaimana menghormati satu sama lain terlepas apa itu profesi keyakinan atau perbedaan gender dan peran masing masing. Permainan yang sungguh mengedukasi menghibur sekaligus menegangkan karena bernuansa mistik ini bisa di tepis oleh Mbah Yongki bahwa ini bukan permainan yang mengandung unsur magis melainkan permainan dengan teknik tertentu.

Revitalisasi permainan ini juga bisa dilakukan dengan mereplika boneka Nyi Puthut dalam boneka lain yang lebih di gemari anak anak sekarang sebagaimana contoh boneka Barbie. Boneka Nyi Puthut bisa diproduksi dalam bentuk yang lebih kecil atau dalam bentuk bantal tetapi teknik menjualnya harus di sertai narasi da nasal usul boneka Nyi Puthut ini. Barangkali permainan Nyi Puthut tidak hanya satu boneka saja tapi bisa menghadirkan boneka boneka lain yang bisa menjadi fragmen atau drama boneka. Tentu ini sangat dibutuhkan peran serta para insan seni budaya dan insan kreatif untuk menangkap ini sebagai salah satu peluang ekonomi kreatif sekaligus edukasi nilai nilai budaya yang sarat dengan pesan pesan kehidupan pada anak anak dan remaja.

Kini Mbah Yongki telah tiada mendahului kita Selasa 28 Maret 2023. Beliau meninggalkan banyak pesan seni budaya di Kot Malang yang harus di kembangkan. Patut kiranya permainan Nyi Putut di apresiasi dengan di lestarikan oleh generasi generasi selanjutnya. Pemerintah hendaknya mengkaji Nyi Putut untuk mendapatkan Anugrah Warisan Budaya Tak Benda kategori permainan tradisional sebagai salah satu objek pemajuan kebudayaan. Semoga lestari seni budaya Malang selamanya.
*Penggagas kampung Budaya Polowijen

 

Halaman:

Editor: Abdul Malik KT

Tags

Artikel Terkait

Terkini

AI dan Budaya Kampung Pedesaan

Senin, 5 Juni 2023 | 09:36 WIB

Revitalisasi Sepak Bola Kota Malang

Kamis, 1 Juni 2023 | 20:04 WIB

Pancasila, Kebudayaan, dan Bina Bangsa

Kamis, 1 Juni 2023 | 12:05 WIB

Pertumbuhan Jaranan dan Bantengan di Malang

Rabu, 31 Mei 2023 | 09:34 WIB

Pendidikan Yang Berpihak Pada Peserta Didik

Selasa, 30 Mei 2023 | 09:19 WIB

Hobbes, Strategi Perubahan Sosial dan Rawon

Senin, 22 Mei 2023 | 14:39 WIB

SMK Sura Dewa Menyadari Pentingnya Literasi

Sabtu, 20 Mei 2023 | 23:50 WIB

Karya Seni, Penjara dan Terciptanya Kebudayaan

Kamis, 18 Mei 2023 | 22:18 WIB

RUNAPHORIA: Wahana Ekpresi Runa

Kamis, 18 Mei 2023 | 21:35 WIB

Hidup Yang Begejekan

Kamis, 11 Mei 2023 | 10:08 WIB
X