Oleh Wibie Maharddhika
Intoleransi adalah sikap tidak memiliki tenggang rasa dan abai terhadap eksistensi serta kepentingan orang lain. Intoleran adalah orang yang tidak memiliki “tepa salira” dan cenderung mau menang sendiri. Kehidupan masyarakat yang mengandaikan adanya realitas mayoritas dan minoritas, intoleransi bisa muncul dari kedua belah pihak. Yang mayoritas menjadi sok kuasa dan tak melindungi, sementara yang minoritas membandel dan tak menghormati. Hal itu lazim terjadi di mana-mana di seluruh belahan dunia. Tak hanya di Indonesia. Contoh nyata baru-baru ini (lagi) terjadi dan viral di Malang dan Yogyakarta. Di Malang Raya belum lagi usai prihatin dengan hasil pengadilan tragedi Kanjuruhan yang sulit diterima rasa keadilan, muncul terjadi penertiban (istilah halus dari penggusuran) menjelang Ramadhan terhadap penjual nasi goreng babi yang katanya “meresahkan” masyarakat. Sementara di Yogyakarta lebih “aneh” lagi, yakni penutupan patung Bunda Maria di seputar Lendah, Kulonprogo dikarenakan protes segelintir ormas yang merasa terganggu dalam melaksanakan ibadah suci bulan Ramadhan. Padahal ekspresi ibadah setiap umat beragama di wilayah NKRI ini sah dan dilindungi oleh hukum yang berlaku. Belum lagi keanekaragaman spiritual budaya agama yang berjiwa Ketuhanan YME diayomi oleh ideologi PANCASILA.
Telah sering kita ketahui bahwa para Nabi, Rasul, Wali dan orang suci hanya mengajarkan prinsip berketuhanan yang sepenuhnya “Kasih”. Karena sifat Rahmaniah Welas Asih itulah sifat hakekat TUHAN Sendiri. Sifat ini jelas ditunjukkan dengan sikap toleransi atau “tepa salira” dan asih asuh atau “ngemong”. Maka TUHAN YME Sendiri adalah GUSTI Yang Maha “Ngemong” dan Toleran. DIA Hanya Menunjukkan kepada manusia akan adanya hukum tabur tuai. “Sopo nandur budi bakal ngundhuh wohing pakarti”. Manusia dianugerahi free will atau kehendak bebas. Barangsiapa berbuat sebesar dzarrah kebaikan atau keburukan di dalam hati atau terang-terangan, maka pasti ia akan merasakan akibat dari perbuatannya. Cukup bagi-NYA dan Ia Telah Mengilhamkan tentang perbedaan perilaku keburukan dan ketaqwaan dalam nurani manusia.
Lalu apa hubungannya dengan JEMPARINGAN? Jawabannya sangat erat terkait. Jemparingan adalah sebutan bagi kegiatan seni olah raga panahan tradisional Jawa. Secara khusus olahraga tersebut dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai media pendidikan bagi generasi di samping berkuda dan berenang. Bagi umat Islam, dhawuh Kanjeng Nabi SAW pasti “sesuatu”. Pasti ada rahasia hikmah dan berkah di dalam setiap dhawuh dan kalimat seorang Rasul Utusan ALLAH. Tapi seni olahraga itu tak hanya disunnahkan oleh Sang Muhammad, melainkan juga kepiawaian yang dimiliki Sang Buddha Siddharta Gautama saat masih sebagai Pangeran muda. Artinya, ternyata memanah adalah aktivitas yang telah dilakukan oleh manusia-manusia yang bersuluk meniti jalan pencerahan.
Lebih menarik dan filosofis lagi, oleh para Leluhur Jawa kegiatan tersebut diistilahkan dengan “manah” yang bermakna keadaan pikiran hati dan jiwa. Para sesepuh Nusantara sangat memahami hikmah dhawuh serta sunnah Rasul tersebut yang tak lain dalam rangka mendidik mengolah perkembangan pikiran hati dan jiwa umat. Secara tradisi Jawa pun, tatacara memanah secara spesifik dilakukan dengan duduk bersila. Ada etika estetika yang harus dilakukan dan diekspresikan. Sebagaimana gerak tari, ada wiraga wirama wirasa dalam memanah yang orientasinya menguatkan daya fokus, menajamkan konsentrasi, menenangkan hati, menghaluskan rasa, membugarkan raga dan memurnikan jiwa. Saat proses panjang “olah manah” tersebut terwujud, maka kualitas kedewasaan mental spiritual sang pemanah akan bertumbuh. Lahirlah sifat welas asih dan kedamaian yang koheren dengan sifat toleransi atau “tepa salira” hingga menumbuhkan kepekaan batin dan nalar rasional proporsional atau “empan papan”. Beragama pun akhirnya selaras dengan ajaran para Nabi dan Rasul, yakni dengan optimal menggunakan akal dan mencerap rasa. Tidak dangkal pendek akal dan emosional. Hal ini sudah diperingatkan dalam hadits bahwa akan datang suatu masa ada segolongan orang yang membaca ayat suci hanya sampai di mulut dan kerongkongan saja. Tidak merasuk sampai ke dalam hati. Sama sekali tidak menggugah “manah” diri (emotional & spiritual quotient).
Peristiwa intoleransi beragama jelas terjadi karena kedangkalan umat beragama dalam “memanah” sebagaimana pemaknaan di muka. Puasa sejatinya adalah tradisi canggih untuk panahan jiwa, yakni membidik ego diri pribadi berupa jiwa rendah amarah, dendam, iri, benci, dengki, sesal, kecewa dan malas, agar bertransformasi menyelami lautan sifat Kreatif dan Cinta Kasih-Nya. Maka orang berpuasa dengan niat dan cara yang benar pasti akan naik kelas semakin punya semangat berkarya, jiwa pamomong serta hati perekat persaudaraan tulus antar sesama (rahmatan lil ‘alamin). Tak disekati oleh batasan SARA.
Baca Juga: Mamayu Candi Pustaka, Menghidupkan Pusaka
Di luar ibadah puasa, maka panahan tradisional atau Jemparingan adalah media alamiah, ilmiah dan ilahiah guna membentuk karakter taqwa yang sejati. Membangun jiwa “ksatria pinandhita” atau professional prophetic yang berpribadi positif, konstruktif dan sinergis . Selaras dengan karakter tokoh PANJI ASMARABANGUN (ksatria pencipta harmoni cinta) sebagai Icon Nusantara, khususnya Jawa Timur yang mewarnai budaya Malang Raya. Semestinya para pendidik bangsa perlu mempertimbangkan Jemparingan sebagai olahraga permainan masyarakat sekaligus objek pemajuan kebudayaan menjadi kurikulum “nation character building” bermuatan lokal. Diharapkan generasi welas asih dan “wiji sepuh” PANCASILAIS akan tumbuh dalam pribadi para milenial yang menjauhkan diri mereka dari karakter radikalis intoleran. Sungguh pun bahwa di balik dinamika radikalisme dan intoleransi lebih banyak karena permainan politik kekuasaan, namun perjuangan “hamemayu hayuning bawana” adalah tugas semesta yang tetap harus ditegakkan. Lewat seni olah manah Jawa, jiwa kita akan semakin mempercantik keelokan semesta dan tak akan mudah terombang-ambing karena hinaan, pujian mau pun adu domba. Tetep ing lurus pikiran, leres pangucap, laras raga, manunggal jiwa sarta sumeleh urip. Salam PANJI, Panah Jiwa.
Napasku Roh Suci
Netraku puja kelawan puji
Panduluku rasa jati
Duh Gusti
Artikel Terkait
Malang Itu Ngalam Malati
Kampung Ngalam Semesta
Air Mata Air Peradaban
Mamayu Candi Pustaka, Menghidupkan Pusaka
Ludrukan Di Cafe, Harmoni Modernitas Dan Tradisi