Oleh Wibie Maharddhika
Jika saya dan anda TAK semakin takjub dengan skenario dan orkestrasi TUHAN YME saat menyaksikan bersandingnya hari raya NYEPI tahun baru Saka 1945 yang mengawali hari pertama RAMADHAN 1444 H di tahun 2023 Masehi ini, maka saya dan anda kemungkinan besar telah “mati rasa”. Bahasa Jawa-nya “kaling-kalingan nugrahaning GUSTI” atau terhalangi dari menikmati dan merasakan karunia ALLAH SWT. Pastinya kita selalu berdoa agar itu tak terjadi pada diri kita masing-masing. Karena bagi orang yang beriman, fenomena indah agung itu tampak nyata hingga semakin melihat esensi yang sama dari berbagai jalan keyakinan yang berbeda. Tampak semakin jelas analogi dari kalimat Maulana Rumi, “Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku dalam rupa yang berbeda”. Sementara betapa dungu dan ‘wasting time” nya orang-orang yang tidak menyaksikan hal itu karena tertutup fanatisme atribut, label dan simbol hingga ribet ribut memperdebatkan perbedaan yang justru semakin menjauhkannya dari aroma wangi ketentraman surgawi.
NYEPI diwarnai aktivitas Catur Brata Penyepian yang sudah dikenal dengan Amatigni, Amatikarya, Amatilelungan dan Amatilelanguan. Yang dimaksud Amatigni adalah dilarang menyalakan api. Api ini bukan sebatas fisikal, namun substansinya adalah emosi-emosi rendah seperti kemarahan, dendam, kebencian, iri hati, dengki, cemas, kuatir, penyesalan dan kekecewaan. Di saat NYEPI itu semua harus dilebur. Makna dilebur bukan berarti emosi itu dipadamkan tetapi ditransendensikan atau ditransformasikan menjadi cinta welas asih serta rasa syukur. Kemudian Amatikarya, yakni larangan untuk beraktivitas, baik berupa aktivitas fisik atau pun pikiran. Pikiran disebut Rajaindria dan gejolak batin yang berasal dari pikiran yang tidak selaras. Untuk itu, pikiran perlu dikendalikan dan dikenali sehingga kita menyadari gerak dari pikiran. Menurut Jro Mangku I Ketut Sandika, Guru Tantra Sastra Nusantara, dalam laku Tantrik, penghentian pikiran disebut Nirvikalpa dan itu dapat dilakukan dengan Japasara, yakni mengucapkan bijaksara mantra secara berulang-ulang, seperti mantra Dasaksara, Pancaksari, Dasabayu, dan Wrehastra serta Ongkara Pranawa.
Berikutnya dalam NYEPI ada aktivitas Amatilelungan yang berarti dilarang bepergian. Maksud inti larangan itu adalah meniadakan keinginan. Dalam ajaran Jnanasiddhanta, keinginan harus dikendalikan sehingga sampai pada Niarasraya atau melepaskan segala keinginan apapun. Cara melepaskan keinginan bisa dilakukan dengan upawasa, tapa, brata, yoga, dan samadhi. Terakhir adalah aktivitas Amatilelanguan, yakni meniadakan keinginan untuk menikmati segala kesenangan duniawi. Pada saat NYEPI, umat melakukan upawasa dan brata serta mencoba menyelami diri melalui keheningan mendalam dengan menahan rasa lapar dan haus.
Baca Juga: Ludrukan Di Cafe, Harmoni Modernitas Dan Tradisi
Sejujurnya penulis malah merasa bahwa TUHAN sedang mengingatkan diri penulis sebagai Muslim agar membaca esensi RAMADHAN itu pada aktivitas NYEPI. Tentu saja dalam Al-Quran, Hadits dan kitab-kitab para Ulama salafush sholih telah amat detail mengungkap ajaran puasa (upawasa). Khususnya dalam kitab-kitab tasawuf para Auliya-il ‘arifin juga telah mengajarkan doa, wirid dan rangkaian dzikirnya sebagai analogi bijaksara dan mantra. Namun lewat upaya penulis untuk meng “Iqra’ bismirobbikalladzi kholaq” (membaca dengan nama TUHAN Sang Maha Pencipta), tampak-NYA TUHAN Hendak Mengingatkan bahwa RAMADHAN adalah ruang waktu untuk semakin NYEPI, yakni mengasingkan pikiran hati dan jiwa dari hiruk pikuk duniawi. “Tajarrud ‘aniddunya”, atau meninggalkan dunia secara batin. “Tapa ing rame” istilah orang Jawa atau ‘uzlah bathiniyyah” bahasa Arab-nya.
Menyepikan pikiran hati dan jiwa dari dinamika dunia ini yang semakin luput dikerjakan umat beragama. “Bali ngalaming asuwung” ini banyak ditinggalkan oleh orang yang mengaku beriman. Padahal tanda iman adalah “dununge rasa” atau kemapanan rasa sejati dikarenakan telah tak terikat dengan hilir mudik dan kepalsuan hidup di dunia. Kita perjelas istilah tak terikat dunia ini, yakni bukan berarti tak bergaul, bermasyarakat, belajar, bekerja dan berjuang. Namun berarti sudah semakin sirna sifat angkara murka, amarah, dendam, benci, iri, dengki, sesal, kecewa, malas dan sifat egoistik dalam pribadinya. Digantikan atau bertrasendensi bertransformasi menjadi sifat kasih sayang murni dan kedamaian suci.
Dr. Joe Dispenza, seorang saintis epigenetika, biologi molekuler, neurokardiologi dan fisika quantum dalam buku bestseller “Becoming Supernatural” (2017) secara gamblang menjelaskan bahwa orang akan mampu menciptakan keajaiban, kreatifitas dan kesejahteraan baru yang tak membosankan dalam hidupnya jika mampu melepaskan pikiran hati dan jiwa dari ikatan-ikatan emosional energetik dengan segala hal di masa lalu (orang, benda, memori dsb) serta bayangan-bayangan masa depan (keinginan, cita-cita, ambisi dsb). Orang harus terlatih menikmati kekinian abadi (eternal now) yang meditatif (suwung). Menikmati kedamaian sukacita tak terkatakan hingga merasakan sebagai nobody (bukan apa-apa), no one (bukan siapa-siapa), nothing (tidak ada), nowhere (tidak berada dalam ruang) dan no time (tidak berada dalam waktu). Hanya dengan “state of being” seperti itu, maka seseorang akan mampu mengakses energi tak terbatas dari “the unknown” atau yang tak diketahui (tan kinira kinaya apa/laysa kamtislihi syai-un) hingga mampu menciptakan hal-hal baru yang tak terprediksi sebelumnya. Dalam bahasa Al-Quran adalah saat ALLAH SWT Memberikan rizki dari arah yang tak disangka-sangka (wayarzuqhu min haytsu layahtasib).
Joe Dispenza mengakui dalam buku yang mengguncang paradigma Barat itu bahwa pengetahuan ilmiahnya telah dilakukan oleh para leluhur Asia jauh di masa lalu. Masuk akal bukan bahwa para Leluhur Nusantara kita mampu menciptakan eko-sosio-kultura atau peradaban besar dengan peninggalan artefak, candi dan pustaka yang super canggih? Semua karena para Leluhur telah menguasai esensi tradisi NYEPI dan RAMADHAN jauh sebelum agama-agama hadir diajarkan, yakni esensim kebebasan dari ikatan emosional energetik dengan segala ciptaan. Bukan berarti bahwa manusia semacam itu lari dari kenyataan dan “tak memiliki perasaan”, namun justru sebaliknya senantiasa bertanggungjawab dengan realitas hidup melalui pikiran hati dan jiwa yang jernih serta murni penuh KASIH, ELING LAN WASPADHA. Tak ada keresahan dan kekuatiran yang mendominasi lahir batin. Apalagi kecurigaan kepada sesama dan pihak lain yang berbeda hukum syariat-nya. Dalam istilah tasawuf, mereka adalah ahli “fana” (menafikan eksistensi) dan “baqa” (abadi sejati) atau “jumeneng nata pribadi”. Setiap gerak pikiran, hati, jiwa, kata dan perbuatannya bukan lagi didasari oleh kepentingan egonya, namun semata merupakan ekpresi Maha Karya Kreatif-NYA.
Pantaslah bahwa bangsa Nusantara di masa lalu adalah bangsa yang super canggih dalam karya nyata. Kedekatan hari raya NYEPI dan bulan suci RAMADHAN pun harus dimaknai sebagai ajakan NGALAM semesta untuk selalu selaras harmoni dalam keanekaragaman. Sekaligus masuk ke dalam salah satu esensi ajaran semua agama agar manusia tak terbayang-bayangi kejayaan atau pun kehancuran masa lalu, serta terus mencipta kreasi-kreasi baru tanpa direduksi oleh keinginan, ambisi dan cita-cita yang jauh dari keabadian KASIH. Selamat NYEPI, selamat beribadah PUASA, selamat mengheningkan cipta dan tetap semangat berkarya di hari-hari bening kita.
*Wibie Maharddhika
NGALAM SOCIETY
NUSANTARA CULTURE ACADEMY
Artikel Terkait
Hormati Hari Raya Nyepi, Tol Bali Mandara Tutup 32 Jam
Candi Borobudur Banjir Pengunjung di Libur Nyepi
Muhammadiyah Tetapkan Awal Ramadhan 1444 H Tanggal 23 Maret 2023
Ramadhan Bersama Shopee, ada THR Kaget 15M sampai Flash Sale Rp1
Buka Puasa Ramadhan, Kontena Hotel Hadirkan Menu dari 7 Negara Setiap Hari