Wayang, Ruwatan dan Keselarasan Energi

- Senin, 20 Maret 2023 | 18:45 WIB
 DALANG CILIK - Dalang cilik memainkan wayang di Celaket Kota Malang. KLIKTIMES.COM/HAYU YUDHA
DALANG CILIK - Dalang cilik memainkan wayang di Celaket Kota Malang. KLIKTIMES.COM/HAYU YUDHA

Oleh Wibie Maharddhika

Pagi tadi sesaat setelah terbit matahari, penulis tergerak menghubungi Ki Dhalang Soleh Adi Pramono via mobile phone untuk melepas dahaga ilmu tentang pewayangan dan ruwatan. Sebetulnya ingin sowan” langsung kepada Guru para Dhalang dan sesepuh seniman budayawan Malang Raya ini. Lebih “jangkep” dan etis rasanya. Namun dengan niat tulus hormat serta sadar keterbatasan diri, penulis menggunakan media gadget untuk “ngangsu kawruh” kepada Sang Empu Padepokan Mangun Darma, Tumpang, Kabupaten Malang tersebut. Allahu yarham, semoga TUHAN Semakin Merahmati Dhalang kinasih kinurmatan ini.

Setelah saling uluk salam karahayon, penulis pun langsung bertanya “kembali” tentang hubungan antara wayang dan ruwatan. Dengan suara “gandem marem” khasnya yang kebapakan, Beliau berkenan menerangkan sekelumit tentang tradisi wayang dan ruwatan. Menurut Beliau, pertama kali yang sangat penting dilakukan sebelum menggelar wayang dan ruwatan adalah menentukan hari baik dan tepat bagi pelaksanaan acara. Pakem penentuan hari H ini ada dalam kitab atau serat karya para pujangga masa lalu. Artinya harus berhati-hati tidak “grusa-grusu”. Sejak jaman “Purwa”, sebuah babad atau babak baru dalam kehidupan masyarakat selalu diawali dengan ruwatan “Sesaji Rajasuya”. Entah itu saat mendirikan kerajaan baru, pemerintahan baru di segala tingkatan hingga bahkan peresmian gedung baru. Lakon ruwatan itu sendiri ada macapatan tentang Nabi Yusuf AS, pagelaran wayang kulit Sri Sedono atau Sri Boyong, serta doa Purwa Bumi.

Terpenting menurut Ki Soleh bahwa proses ruwatan itu adalah kesadaran “pangruwatan nepsu” (pengendalian hawa nafsu) lewat lakon dan doa “Kunjarakarna”, hingga puncaknya adalah “pangruwatan adeg-adeg pribadi” (penyempurnaan jiwa) melalui lakon “Semar Bangun Kayangan”. Semar dipandang sebagai tokoh “jalma minulya” atau manusia utama bagi orang Jawa. Ki Soleh pun berujar bahwa yang dimaksud “Kayangan” adalah alam kesadaran ilahiah dalam diri pribadi setiap manusia. Artiya puncak ruwatan adalah proses penempaan kualitas akhlaq pribadi mulia demi mencapai kesadaran spiritual ketuhanan yang prima.

Sejenak perbincangan 5 menit bersama Ki Soleh tadi lebih menambah kesadaran bahwa yang pertama-tama bagi orang Jawa, pagelaran wayang kulit dan ruwatan adalah simbol jatidiri. Sebuah identitas budaya yang tak lekang oleh waktu. Ekspresi seni budaya khas Nusantara ini digunakan oleh para agamawan, khususnya para Waliyullah tanah Jawa sebagai sarana pensucian bagi diri, lingkungan dan masyarakat. Para Wali Kekasih ALLAH itu mampu menjabarkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa (Tauhid) dalam serat-serat atau tradisi pewayangan dan ruwatan. Tak sulit karena orang Jawa sejak dahulu telah dinafasi ajaran kemakrifatan sejati. Hanya saja dengan ekspresi khas Jawa Nusantara.

Baca Juga: Wayang Wong Di Malang Kehilangan Popularitas (3)

Kedua, sebagai orang Jawa yang tak akan tercerabut akar jatidirinya, maka wayangan dan ruwatan merupakan hal yang wajib, atau minimal “sunnah muakkad” untuk dilaksanakan. Arti tercerabut di sini adalah tidak selaras dengan ruang waktu konteks kehidupan. Sama halnya dengan bangsa lain, maka orang Jawa memiliki “empan papan” berupa alam lingkungan yang khas. Jika kita memahami hukum kekekalan energi, maka segala partikel atom yang membentuk semesta ruang waktu adalah energi. Kondisi alam tanah Jawa Nusantara adalah pancaran energi, getaran dan frekuensi yang membawa data dan pesan khas secara turun temurun. Para leluhur memiliki kecanggihan untuk menangkap dan merespon hal itu semua sekaligus melakukan harmonisasi melalui berbagai simbol dan piranti natural. Khususnya wayang dan ruwatan dengan segala “ubarampe” serta “sajen” atau “yantra-mantra-tirtha” dan aroma menyan/dupa yang penuh pernak-pernik. Sejatinya itu adalah perilaku rasional intelektual super canggih masa lalu dengan kesadaran spiritual penuh kualitas emosi yang luhur. Jauh dari praduga raba-raba dan klenik yang punya indikasi menumpulkan hingga mengkerdilkan jiwa serta akal pikiran.

Ketiga, perlu dan wajib ada edukasi bagi masyarakat Jawa untuk “kembali” mampu mereguk kenikmatan hakiki dalam pagelaran wayang kulit dan ruwatan. Mayarakat, khususnya milenial sesulit apa pun, harus diajak secara bijak penuh kasih sayang untuk “duduk” dan belajar meruwat dirinya kembali dengan pagelaran wayang kulit yang memang selaras dengan kondisi alam kehidupannya. Harmonis dengan tanah yang dipijak dan air yang diminumnya. Hingga masyarakat dan milenial otomatis rindu selalu untuk melakukan pensucian jiwa dan penyelarasan energi dikarenakan ada kedamaian luar biasa yang dirasakan melebihi dunia seisinya. Sementara itu para pejalan spiritual adalah mereka yang optimis bahwa hal ini bisa dilakukan, karena keyakinan dan iman adalah kemampuan menyaksikan cahaya harapan (kasih) bahkan dalam kegelapan (angkara) yang akut sekali pun.

Keempat, Malang Raya sebagai pengejawantahan nilai “Mala Angkusa Ishwara” (kebathilan tumbang oleh TUHAN) sudah selayaknya menjadi pusat pagelaran wayang ruwatan bangsa. Selaras dengan maknanya. Bagi penulis secara subyektif, MALANGKUCECWARA adalah singkatan dari “Mandala Ngalam Pamangku Semesta Wangsa Nusantara” atau portal energi pemangku bangsa Nusantara. Ini bukan ungkapan arogansi emosional, tapi statemen proporsional rasional berdasar “takaran” fakta historis yang telah banyak dipelajari dari para ahli sejarah dan arkeolog. Sebuah kenyataan yang justru mengandung tugas semesta dan amanah berat, apalagi dengan slogan Aremania yang sadar tak sadar sudah membahana ke seluruh dunia dengan Salam Satu Jiwa nya. Bukankah “great power comes great responsibility”? Malang sebagaimana arti bahasa “walikan” menjadi “Ngalam” memang sebuah potensi kekuatan besar. Bagai kekuatan raja hutan “Singo Edan” (jadzab) karena mabuk cinta kepada TUHAN. Tinggal butuh komitmen dan konsistensti “catur murti” (pikiran, perasaan, perkataan, perbuatan).

Fakta sejarah sebagai mata air peradaban punya tanggungjawab mulia untuk selalu menjernihkan mata air kesadaran pikiran, hati, kata-kata dan tindakan sehari-hari. Sekaligus mewujudkan sikap sejati sebagai saudara SATU JIWA yang saling asah, asih dan asuh. Itu yang diajarkan Ki Semar Badranaya dalam lakon ruwatan agar setiap jiwa membangun kesadaran kesatuan “kahyangan”. Dan ego rendah syaithoniyah pasti menolak serta muntah-muntah dengan konsep surgawi ini. Ego rendah selalu penuh keakuan, cenderung gelut, penuh kecemburuan dan persaingan. Tak heran pikiran emosinya terpelanting serba ekstrim membara berprasangka buruk bagai api yang menyamping-nyamping. Jauh dari ketenangan percik mata air nan damai seimbang dan terus berprasangka baik tak henti mengalir.

Kelima, pagelaran wayang dan ruwatan adalah proses amat panjang membangun generasi “Kahyangan”. Yakni bersabar tenang membangun “takaran” kepribadian yang proporsional dan seimbang sebagai mahluk ciptaan-Nya. Budaya Nusantara (Nusantara Culture) ini telah lama diteliti (eksplorasi), dikembangkan (revitalisasi) sebagai objek pemajuan kebudayaan yang harus selalu didayagunakan demi trasnformasi peradaban. Ilmu Tantra sebagai pengetahuan kemakrifatan asli Nusantara sendiri mengajarkan bahwa manusia itu punya tiga kesadaran sekaligus, yaitu kesadaran Bhuta (raksasa), Ratu (manusia utama) dan Dewa (Ilahiah). Ketiganya tak bisa dipisahkan, bahkan harus ada untuk menopang kehidupan. Yang dibutuhkan adalah penyelarasan antara energi Bhuta, getaran Ratu dan frekuensi Dewa melalui keselarasan gerak, suara, nada, irama, rasa dalam orkestrasi gamelan serta gelaran lakon wayang ruwatan dengan berbagai jenis sesaji dan “ubarampe”nya. Keselarasan kekuatan-kekuatan natural itu yang akan membuka katup-katup kejeniusan dan kreativitas manusia Nusantara. Tak mengherankan bahwa wayang kulit ruwatan juga dilakukan para Leluhur Jawa untuk meruwat tak hanya manusia, namun juga tanah, pasar, rumah, balai, gedung dan pusat-pusat aktivitas masyarakat. Semakin terbayang kini pentingnya MCC (Malang Creative Center) yang telah berslogan “Creative Culture Ambience” tersebut untuk mewujudkan kalimatnya lewat aktivitas pagelaran wayang kulit dan ruwatan rutin guna semakin mendorong atmosfir energi kreativitas “out of the box” yang selaras, solutif, berkelanjutan dan berjiwa.

Menutup tulisan ini, penulis teringat saat pertama kali diundang oleh Ki Soleh Adi Pramono. Yakni di acara gelaran ruwatan “Bur Manuk” di Candi Kidal seputar tahun 2018 dalam rangka Ruwatan Nagari. Tak lama kemudian, terjadilah geger nasional karena berita satu gerbong kereta api terisi penuh mantan anggota wakil rakyat Malang diangkut KPK ke Jakarta terkait kasus korupsi. Demikian juga menyusul para pejabat yang lain di Malang Raya. Inilah hasil pagelaran wayang dan ruwatan oleh dhalang ruwat sejati yang diniati tulus demi pensucian pribadi dan masyarakat. Sebuah hasil wayang ruwatan yang diidam-idamkan oleh rakyat dan umat dalam semangat kebenaran dan keadilan. Semangat Satu Jiwa “Mala Angkusa Ishwara”. Bagaimana pun, kehidupan agar selaras haruslah seimbang sesuai takaran dan prinsip “sapa nandur budi bakal ngundhuh wohing pakarti”. Itulah wujud surga yang nyata. Mari kita gelar selalu wayang dan ruwatan agar hidup tidak makin ruwet, namun tetap terawat.

*Wibie Maharddhika NGALAM SOCIETY

Editor: Abdul Malik KT

Tags

Artikel Terkait

Terkini

AI dan Budaya Kampung Pedesaan

Senin, 5 Juni 2023 | 09:36 WIB

Revitalisasi Sepak Bola Kota Malang

Kamis, 1 Juni 2023 | 20:04 WIB

Pancasila, Kebudayaan, dan Bina Bangsa

Kamis, 1 Juni 2023 | 12:05 WIB

Pertumbuhan Jaranan dan Bantengan di Malang

Rabu, 31 Mei 2023 | 09:34 WIB

Pendidikan Yang Berpihak Pada Peserta Didik

Selasa, 30 Mei 2023 | 09:19 WIB

Hobbes, Strategi Perubahan Sosial dan Rawon

Senin, 22 Mei 2023 | 14:39 WIB

SMK Sura Dewa Menyadari Pentingnya Literasi

Sabtu, 20 Mei 2023 | 23:50 WIB

Karya Seni, Penjara dan Terciptanya Kebudayaan

Kamis, 18 Mei 2023 | 22:18 WIB

RUNAPHORIA: Wahana Ekpresi Runa

Kamis, 18 Mei 2023 | 21:35 WIB

Hidup Yang Begejekan

Kamis, 11 Mei 2023 | 10:08 WIB
X