Pelacur

- Sabtu, 18 Maret 2023 | 12:39 WIB
TUNTUT KEADILAN - Aremania membawa foto korban dalam aksi Malang Menghitam di sepanjang jalur longmarch dari Stadion Gajayana menuju Balai Kota Malang, Kamis (10/11/2022).  KLIKTIMES.COM/HAYU YUDHA
TUNTUT KEADILAN - Aremania membawa foto korban dalam aksi Malang Menghitam di sepanjang jalur longmarch dari Stadion Gajayana menuju Balai Kota Malang, Kamis (10/11/2022).  KLIKTIMES.COM/HAYU YUDHA


Oleh Wahyu Eko Setiawan/ Sam WES

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, arti kata pelacur adalah orang yang berbuat lacur atau menjual diri demi untuk mendapatkan materi/ uang. Istilah pelacur seringkali disematkan kepada perempuan yang menjual diri/ tubuhnya untuk memuaskan nafsu pelanggannya, demi mendapatkan imbalan uang. Atau lebih dikenal dengan WTS (Wanita Tunasusila), atau juga dikenal sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial). Serta beragam sebutan seperti Lonte, Sundal, Pramuria, Kupu-Kupu Malam, dan lain-lainnya.

Nah, bagaimana jika aparat penegak hukum juga menjual diri (jabatan & kekuasaan) untuk mendapatkan imbalan materi atau uang? Mereka juga bisa disebut sebagai pelacur. Misal, polisi yang merekayasa barang bukti dan perkara hukum, ketika pada tahap penyelidikan dan penyidikan, demi untuk mendapatkan imbalan material (uang, aset & harta benda). Atau hakim yang jual beli kasus/ makelar kasus, demi untuk mengumpulkan kekayaan material. Mereka semuanya itu bisa kita sebut sebagai pelacur.

Jika kita banyak membaca sejarah jatuh bangunnya sebuah kerajaan, kekaisaran, negara dan runtuhnya bangsa-bangsa di seluruh dunia, sumber utamanya adalah ketika semakin banyak para aparat penegak hukum yang menjadi pelacur. Sumber utama yang menjadikan hancurnya peradaban umat manusia, adalah ketika semakin banyak para aparat penegak hukum yang sibuk melacurkan diri demi untuk menumpuk-numpuk kekayaan harta benda. Makanya, ketika sebuah negeri telah dikuasai oleh para aparat penegak hukum yang gemar menjadi pelacur, itulah yang disebut sebagai: NEGERI PARA BEDEBAH!

Di Negeri Para Bedebah, korban sebanyak 135 nyawa dan lebih dari 600 orang yang menderita terluka, tidak akan menjadi persoalan besar, selama yang menjadi korban tidak ada dari keluarga Presiden, Menteri, Aparat Penegak Hukum dan Orang-Orang Berkuasa lainnya. Selama semua korban tersebut adalah rakyat jelata, maka dengan mudah yang disalahkan adalah hembusan angin. Bahkan sekalipun hembusan angin itu adalah berupa kentut. Kentut para aparat penegak hukum itu selalu benar. Sedangkan kentut rakyat jelata itu selalu salah. Meskipun karena kentut para aparat penegak hukum tersebut telah menelan korban sebanyak 135 nyawa dan lebih dari 600 orang yang menderita terluka.

Baca Juga: Aksi Kamisan Malang Soroti Vonis Terdakwa Tragedi Kanjuruhan Malang

Seandainya saja, yang menjadi korban meninggal dunia sebanyak 135 nyawa itu, ada anaknya Presiden. Atau bahkan yang meninggal dunia karena kentut itu adalah cucunya Presiden. Tentu TGIPF yang dibentuk oleh Presiden itu lebih garang dan beringas, tidak ompong dan penuh omong kosong seperti yang ada saat ini. Seandainya saja, anak dan cucu dari Presiden yang menjadi korban meninggal dunia di antara 135 nyawa yang melayang di Tragedi Stadion Kanjurahan Malang 1 Oktober 2022, tentu tidak akan ada para aparat penegak hukum yang berani menjadi pelacur.

Ah… Jangan-jangan, Presiden sendiri juga sudah menjadi pelacur? Kok masih bisa tersenyum-senyum ketika ditanya responnya tentang upaya #UsutTuntas Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang? Ah… Jangan-jangan… Semoga jangan… Entah jangan asem, jangan kunci atau jangan lodeh. Yang jelas, jangan sampai Indonesia menjadi NEGERI PARA BEDEBAH!

Ketika para aparat penegak hukum mengadakan jumpa pers karena telah berhasil menangkapi para pelacur (WTS/ PSK), kita bertepuk tangan dan mengapresiasi bahwa itu adalah tindakan yang sudah benar untuk dilakukan. Tetapi ketika kita dengan mata telanjang menyaksikan para aparat penegak hukum itu menjadi pelacur, akankah kita hanya berdiam diri dan tak bersuara? Apakah 135 nyawa yang hilang dan lebih dari 600 orang yang menjadi korban terluka, itu semuanya tidak ada artinya? Apakah kita rela 135 nyawa yang melayang itu dijadikan hembusan angin dan menguap seperti kentut belaka? Bagaimana jika tragedi ini kembali terulang di masa depan, dan yang menjadi korban hilang nyawanya adalah keluarga kita? Akankah kita juga berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa? Apakah kita semuanya juga sedang berproses menjadi Para Bedebah? Sehingga kita juga merelakan Negeri Indonesia ini kelak menjadi NEGERI PARA BEDEBAH?

Ayolah, gunakan pikiranmu, hatimu dan rasamu. Sebentar saja. Hanya sebentar saja. Diam, lalu pikirkan apa yang sedang dipikirkan oleh para korban dan keluarganya. Sebentar saja, jernihkan hatimu, untuk sekedar merasakan goresan luka yang begitu dalam menyayat hati para korban dan keluarganya. Ayolah, hanya sebentar saja. Diam, lalu rasakan sejenak luka, trauma, derita, duka dan lara, dari para korban Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang. Sejenak saja, letakkan ego dan lepaskan prasangka. Rasalah, apa yang terasa di pikiran, hati, jiwa dan bathin dari para korban Tragedi Stadion Kanjuruhan Malang. Jika kau masih manusia yang mempunyai rasa kemanusiaan, maka air matamu pasti dengan mudah merembes keluar, bahkan mungkin deras mengalir. Menggetarkan hatimu, menggedor jiwamu, dan membanjiri rasa kemanusiaanmu. Sungguh, dari 135 nyawa yang menjadi korban Tragedi Stadion Kanjuruhan itu, terlalu dahsyat semua luka, derita, duka, trauma, lara dan nestapa yang tergores sedalam-dalamnya. Goresan itu tidak akan pernah terhapus sampai dunia ini kiamat!

Ah, mungkin setelah tulisan ini tersebar, saya akan ditangkap untuk diadili dan dihukum oleh para aparat penegak hukum. Biarlah. Saya siap lahir dan bathin. Kalaupun nyawa saya ikut melayang menjadi korban, akibat dari tersebarnya tulisan ini, bagi saya itu lebih baik. Daripada saya hanya berdiam diri saja dan tidak melakukan apa-apa, ketika para aparat penegak hukum yang menjadi pelacur itu, merubah Bangsa Indoensia menjadi NEGERI PARA BEDEBAH!

Minimal, saya tidak berdiam diri. Saya tetap bersuara, meskipun hanya melalui sebuah tulisan ini. Saya tidak rela Bangsa Indonesia dijadikan NEGERI PARA BEDABAH oleh para aparat penegak hukum yang sudah menjadi pelacur! Saya melawan! Ini dadaku, mana dadamu?

Saya melawan!
Hei, arek-arek Malang… Apakah kalian tidak melawan?
Mana Jiwa Singo Edanmu?
Mana Salam Satu Jiwamu?

Saya melawan!

*Wahyu Eko Setiawan/ Sam WES, Aremania Garis Merah

Halaman:

Editor: Abdul Malik KT

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Nara Teater Bersiap Untuk Festival Bale Nagi 2023

Jumat, 31 Maret 2023 | 07:34 WIB

Triawan dan MMI

Kamis, 30 Maret 2023 | 12:43 WIB

Mbah Yongki Irawan

Selasa, 28 Maret 2023 | 20:01 WIB

Nyi Puthut dari Mbok Gundari ke Mbah Yongki

Selasa, 28 Maret 2023 | 19:39 WIB

Reinkarnasi Kebangkitan Sepak Bola Arek Malang

Selasa, 28 Maret 2023 | 19:15 WIB

Hidup Di Negeri Antah Berantah !!!

Selasa, 28 Maret 2023 | 18:57 WIB

Generasi Intoleran vs Generasi Jemparingan

Sabtu, 25 Maret 2023 | 06:50 WIB

Ludrukan Di Cafe, Harmoni Modernitas Dan Tradisi

Selasa, 21 Maret 2023 | 14:11 WIB

Wayang, Ruwatan dan Keselarasan Energi

Senin, 20 Maret 2023 | 18:45 WIB

Sahabat UMKM: Membatik Itu Sehat

Minggu, 19 Maret 2023 | 19:26 WIB

Pelacur

Sabtu, 18 Maret 2023 | 12:39 WIB

Mamayu Candi Pustaka, Menghidupkan Pusaka

Jumat, 17 Maret 2023 | 14:43 WIB

Festival Ketupat Lebaran IKA SMAIS 2023

Jumat, 17 Maret 2023 | 13:55 WIB
X