Oleh Wibie Maharddhika
“Keep your mind widely open and find new evidences” (Louis Osgood Kattsoff, Mathematician Philosopher)
Dinas Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah Pemerintah Kota Malang hari Senin lalu, 13 Maret 2023, menggelar Forum Group Discussion bertajuk “Mamayu Candi Pustaka” bertempat di hotel Tugu Malang. Program ini bertujuan menelusuri, mendata, melestarikan dan mendaftarkan naskah kuno terkait kota Malang. Salut dan apresiasi untuk Dinas yang menghadirkan para penulis, peneliti, seniman, budayawan dan jurnalis tak hanya sebatas kota Malang, namun juga wilayah se Malang Raya. Pustakawan sejati memang akan selalu selaras dengan sifat pengetahuan dan literasi yang menembus batas ruang waktu. Semangat wawasan pasti boarderless, terbebas dari belenggu kawasan. Lebih jauh lagi, keluasan wawasan membentuk karakter pemikiran dan jiwa yang semakin terbuka dan luwes untuk beradaptasi dengan perkembangan ilmu, budaya serta peradaban.
“Kata yang benar mamayu atau memayu? Pertanyaan itu dilontarkan Kepala Dinas, Ir. Yayuk Hermiati, M.H, saat memberikan sambutan pembukaan. Yang ditanyakan adalah sebuah kata yang diambil dari istilah poluler Jawa Hamemayu. Artinya mempercantik. Istilah lengkapnya Hamemayu Hayuning Bawana, yang tidak lain adalah sebuah misi filosofis kehidupan orang Jawa untuk selalu mempercantik keelokan alam semesta. Senafas dengan itu, dijelaskan pula oleh KaDinas bahwa kegiatan FGD diselenggarakan untuk mempelajari dan mengambil sisi kebaikan serta keindahan dari pengetahuan yang terkandung dalam naskah-naskah kuno.
Penulis memenuhi undangan sebagai pegiat Bedah Pararaton bersama inisiator Nuriel C. Kertopati yang mengawali kajian tersebut Februari 2020 di Perpustakaan Umum Kota Malang. Sarasehan untuk publik tersebut dilaksanakan berkeliling dan hingga kini terakhir diselenggarakan di Café NdalemRatu Singosari, Kabupaten Malang. Secara khusus ide mengkaji kitab Pararaton digagas bersama dengan Narasumber sejarawan arkeolog Drs. M. Dwi Cahyono, M.Hum, dan sampai 2023 telah berlangsung sebanyak 14 episode.
Yang menarik perhatian kita (mengambil istilah Dwi Cahyono), setiap episode yang digelar selalu membawa sebuah cerita. Baik cerita dari sastra prosa Pararaton itu sendiri, maupun cerita seputar penyelenggaraan acara yang cukup “wingit” dan misterius. Banyak kejadian “aneh” yang terhubung dengan energi dan analogi masa lalu sesuai alur pembahasan kitab yang hampir setengahnya berkisah perjalanan Ken Angrok Sang Amurwabhumi pendiri kerajaan Tumapel Singhasari. Memang sejak awal, nawaitu pengkajian tak hanya semata menggali sejarah, namun berupaya memetik hikmah dan inspirasi kehidupan. Bukan sekedar aktivitas meneliti menelusuri, namun sebuah laku penuh kesadaran dan kecintaan serta khidmat mendoakan para leluhur Jawa Nusantara. Terlebih juga karena Pararaton adalah kitab kontroversial yang membuka peluang perdebatan tafsir yang seringkali tajam. Sementara niat sebagai orang Jawa adalah untuk mikul dhuwur mendhem jero, sehingga seluruh kejadian dan cerita perilaku leluhur yang dipandang “negatif” sekalipun tetaplah dipandang sebagai sebuah takdir atau lelakon yang mengandung pelajaran tanpa kesan merendahkan tokoh-tokohnya.
Baca Juga: Pahami Rekam Jejak Sejarah Bangsa, Dispussida Kota Malang Bakal Lestarikan Naskah Kuno
Pertanyaan tentang mamayu atau memayu tersebut menjadi niat mulia dan kata kunci untuk menelusuri, meneliti dan mempelajari naskah-naskah kuno. Tajuk acara MAMAYU CANDI PUSTAKA sangat elok dan bermakna mendalam guna menghormati naskah-naskah kuno sebagai artefak candi non-fisik, yakni pola bangunan pemikiran, maqom kedudukan jiwa dan citarasa masa lalu yang tertuang dalam tulisan. Maka kitab-kitab dan manuskrip adalah juga portal energi guna mengakses nilai-nilai keluhuran. Benda-benda tersebut adalah pusaka yang letak kesakralannya justru terutama ada pada kesadaran subyek pembacanya. Bukan pada objek bacaan. Niat dan kesadaran pembaca naskah kuno adalah frekuensi yang terhubung dengan frekuensi makna naskah yang ditulis oleh para pujangga dengan niat kesadaran frekuensi luhur. Ketika hasrat energi untuk mengambil kebaikan dan keindahan begitu besar mengalir dari pikiran jiwa pembaca dengan kata kunci mamayu atau memayu tadi, maka hiduplah “Candi Pustaka” menjadi “Pusaka” kembali. Yakni energi adiluhung yang mempengaruhi pola pikir, maqom kedudukan jiwa dan citarasa manusia, hingga menjiwai serta memperbaharui karakter pribadi menjadi lebih baik dan indah (akhlaqul karimah).
Tanpa kesadaran “Hamemayu” (mempercantik), maka kegiatan apa pun menjadi tak ada artinya, tak ber-yoni, tak memiliki energi murni, tak ber “PUSAKA” dan cenderung merugi, merusak serta sia-sia. Hal itu diistilahkan dalam kitab Pararaton sebagai lumaku tan rahayu atau perilaku yang tidak selamat dan menyelamatkan karena mengumbar ego hawa nafsu. Maka betapa indah agungnya saat naskah-naskah kuno dikaji tak hanya dengan analisa histori dan linguistik, namun juga dengan cara tetembangan atau macapatan. Hal ini justru lebih akseleratif dalam meng-akses kesadaran murni melalui olah suara, irama dan rasa. Inilah metode yang dilakukan oleh para leluhur dan masyarakat tradisional selama ini.
Forum Group Discussion MAMAYU CANDI PUSTAKA menepis anggapan bahwa program Dinas Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah tidak seksi. Bahkan sebaliknya sangat strategis, khususnya bagi Malang Raya sebagai wilayah mata air peradaban Jawa Nusantara, DNA kebhinekaan bangsa, sumber kreatifitas budaya dan inspirasi dunia. Membaca atau Iqra’ adalah perintah TUHAN yang maha penting untuk memahami makna fenomena dan segala arti kejadian. Yakni agar peka mengetahui perbedaan antara keindahan dan kebaikan di satu sisi, dengan sifat jelek dan keburukan di sisi lain. Bukankah kepekaan inilah yang semakin terkikis di jaman ini? Bukankah tindak asusila, korupsi dan kejahatan merajalela seolah menjadi hal yang biasa?. Bukankah orang jaman sekarang tak bisa atau sulit membedakan antara mengkritik dengan membully dan menghina? Antara diskusi objektif mengambil pelajaran dengan terjatuh di ruang like n dislike, gossip murahan dan rasan-rasan?
Forum literasi dan kepustakaan dengan demikian adalah vital dan dasar bagi penjernihan “mata air” peradaban yang keruh karena kondisi talbisul haqqi bil bathil (campur aduk antara kebenaran dan kebathilan). Sebuah perjuangan pembersihan sampah-sampah emosi rendah di aliran “kali” kehidupan. Jika di masa modern aktivitas olah pikir intelektualitas para pecinta pustaka dan literasi semakin berkembang dengan tetap diiringi olah jiwa spiritualitas, khususnya dalam mempelajari naskah kuno, maka hal itu akan mendorong semakin jernihnya kehidupan dan derasnya energi, inspirasi, kreatifitas dan karya manusia yang berbudi luhur dalam harmoni keselarasan hubungan dengan sesama, lingkungan dan TUHAN YME. Yang bathil, buruk dan jelek pun akan luntur dengan sendirinya. Program kepustakaan dengan demikian berarti pula sebuah fondasi bagi perjuangan makna mala angkusa iswara (kebathilan hancur oleh Sang Maha Kuasa).
Acara FGD yang menghadirkan narasumber Filolog dan Dosen Universitas Airlangga, Dr. Abimardha Kurniawan, S. Hum., M,A, pengelola naskah Banyuwangi Yusup Khoiri dan juga anggota DPRD Kota Malang, Drs. Rahman Nurmala, M.M dan Hj. Retno Sumarah, SE.,MM tersebut akan ditindaklanjuti oleh Dinas Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah Pemerintah Kota Malang dengan kunjungan ke beberapa tokoh masyarakat guna mendata dan mendaftarkan naskah-naskah kuno terkait sejarah Malang. Juga beberapa program penulisan ulang kitab dengan tafsir kekinian. Termasuk pula kitab Pararaton sebagai salah satu sumber terpenting sejarah Malang Raya demi semakin utuh memahami sifat-sifat para tokoh yang dikaji dalam babad, khususnya Ken Angrok Sang Amurwabhumi yang kontroversial, sehingga masyarakat khususnya kaum milenial tidak salah paham dan semakin mampu berpikir kritis terbuka, sekaligus menghidupkan teladan kebaikan dan keindahan tak hanya dari sosok Ken Angrok, namun juga para Ratu (Pararaton) tanah Jawa. Saat generasi bangsa semakin arif bijaksana dalam laku pikiran, hati, jiwa, ucapan dan perbuatan yang terinspirasi dari leluhurnya, maka saat itulah suksesnya sebuah program Mamayu Candi Pustaka. Bukan hanya aktivitas seremonial, namun sebuah momentum keberhasilan menghidupkan PUSAKA sejati Nusantara.
Salam Satu Jiwa, Selaras Semesta, Golong Gilig Nusantara, Bangkit Indonesia
*Wibie Maharddhika, NGALAM SOCIETY
Artikel Terkait
Perpustakaan Kota Malang Ajak 4 Editor Kliktimes di Workshop dan Lomba Penulisan Pelajar 2022
Lestarikan Budaya dan Permainan Tradisional, Karina Tilik Museum Gubug Wayang di Mojokerto
Batalyon 33 Grup 3 Kopassus Juara Penulisan Sejarah Infanteri
Selamat, 8 Siswa Raih Penghargaan Lomba Penulisan Pelajar 2022 dari Wali Kota Malang
Pahami Rekam Jejak Sejarah Bangsa, Dispussida Kota Malang Bakal Lestarikan Naskah Kuno