Ivanna tak habis pikir dengan kejadian malam itu. Kesan dia, Bali adalah pulau yang indah, orang-orangnya ramah, kaya budaya dan petuah. Tapi kenapa ada Bom? Ivanna bertanya. Sebelum kedatangannya ke Indonesia bersama Schweizer, Ivanna sebenarnya telah sekali mengunjungi Bali bersama keluarganya. Ivanna mengatakan bahwa Bali adalah tempat yang patut dikunjungi tidak hanya karena keindahan alamnya namun juga karena kekayaan budayanya. Namun setelah peristiwa Bom Bali itu, kesan Ivanna akan Bali dan Indonesia sedikit berubah. Dia menyimpan ragu bercampur takut untuk kembali mengunjungi Indonesia.
Aku mencoba memberikan penjelasan bahwa Bali tetaplah nyaman seperti dulu kala. Bom Bali hanyalah tindakan sekelompok orang yang tidak menginginkan perdamaian. Para pelaku juga telah diberi hukuman setimpal. Namun,Ivanna hanya menganggukan kepala beberapa kali. Dari wajahnya aku bisa melihat ada secercah ragu dan pertanyaan. Mungkin dia masih menyimpan kekhawatiran. Siapa tahu bom masih mengancam Indonesia. Ivanna tertegun. Ia kembali minum anggur merah dan menghisap rokok. Foto sastrawan besar Jerman Johan Wolfgang Goethe yang tertempel di samping tempat duduk kami sama sekali tak menarik perhatiannya. Mata Ivanna menerawang jauh. Alunan orkestra Ludwig Van Beethoven yang seakan bersenyawa dengan suara para pengunjung kafe juga tak membuat Ivanna bahagia. Kota Frakfurt masih hidup tapi aku sadar Ivanna tengah bercerita tentang orang yang telah mati.
“Tragedi bom Bali seringkali membuatku susah memejamkan mata terutama menjelang waktu tidur tiba. Meski Jerman sangat jauh dari negerimu, tragedi itu terasa masih lekat dalam ingatanku. Suara ledakan itu masih terasa dekat, seperti terngiang di kedua telingaku. Kadang memori itu datang kembali dalam mimpiku, mirip seperti bayang-bayang yang memburu. Jika begitu, aku merasa tidak berada di Jerman tapi di negerimu.”
“Tapi kamu harus mencoba melupakan tragedi itu. Kehidupan dan masa depan menunggumu. Aku yakin lambat laun kamu pasti bisa mengubur kenangan itu,” Aku mencoba memberi saran.
“Tidak semudah yang kamu bayangkan. Tragedi itu begitu menyakitkan. Aku tak tahu sampai kapan trauma dan kesedihanku hilang.”
“Tapi tiada guna kamu terus menerus mengenang kematian Schweizer. Dia sudah di alam baka. Schweizer tak mungkin kembali.”
“Ya aku tahu. Tapi aku merasa sangat menyesal telah mengajak Schweizer datang ke Kafe di jalan Legian malam itu.
Baca Juga: Cerpen Dua Lelaki yang Meninggalkan Memori Nyeri
Jika saja aku tidak mengajaknya pasti kematian tak datang padanya. Andai malam itu aku berdiam diri di hotel pastilah Schweizer sudah meminangku di pelaminan sekarang.”
“Sudahlah Ivanna. Bukankah kematian sudah digariskan oleh Tuhan.”
“Tapi aku tak percaya adanya Tuhan! ” kata Ivanna sambil menatapku tajam.
Mendengar jawaban Ivanna aku terdiam. Aku tak ingin mendebat keyakinannya.
Mata Ivanna menyimpan hampa, tapi ia melanjutkan bicara. Cincin tunangan pemberian Schweizer masih dia simpan, meski hal itu hanya memperparah perih dan luka. Ia sebenarnya ingin membuangnya namun ia tak sampai hati. Ivanna merasa bersalah dan menyesal. Ia merasa turut andil dalam kematian Schweizer di Bali. Ia pun berandai-andai. Andai malam itu ia tak mengajak kekasihnya menenggak anggur khas Bali di Kafe jalan Legian Kuta, Schweizer pasti masih hidup hingga kini. Ivanna seperti terus memendam kegelisahan. Bayang kesalahan dan penyesalan terus menikam. Ivanna menegaskan bahwa manusia sendiri yang menentukan atas apa yang terjadi pada dirinya sendiri, termasuk menyangkut kematian. Bukan Tuhan. Ivanna berkata berulang-ulang. Aku hanya menganggukkan kepala pelan, tak ingin menyangkal orang yang masih diliputi sedih dan rasa sesal. Sungguh, ingin sekali aku menghibur Ivanna dan membantunya menghapus kenangan hitam akan kematian. Tapi berbagai cara berbicara yang telah kucoba tak juga mampu menepis bayang kesedihan di wajahnya.
Akhirnya, kami sepakat untuk pulang. Meninggalkan kafe Freudi yang masih dihentak musik dan disapu lampu remang. Ivanna ingin ikut pulang ke apartemenku tapi aku menolak.Kami berpisah menjelang jam satu malam. Aku berlari menuju stasiun Dom Romer, kemudian mengikuti laju kereta menuju stasiun Willy Brandt Platz. Lalu turun dan berganti kereta yang menuju ke Kullmann Strasse, tempatku tinggal. Kereta telah sepi, tak banyak yang menumpang. Tidak seperti pada waktu pagi dan sore hari ketika orang berangkat dan pulang kerja, akan ada banyak penumpang yang harus berdiri. Sampai di kamar aku merebahkan badan. Sebentar kemudian mataku terpejam. Gelap. (bersambung)
Artikel Terkait
Jack Harun Mantan Napiter Bom Bali : Satgas Gunung Lawu Penting Untuk Awasi Jaringan Teroris di Gunung
Cerpen Kisah Seorang Narapita (5)
Cerpen Derak Sayap-Sayap Patah (3)
Mantan Ahli Bom Bali 1, Ngaku Sulit Disertasi Ketimbang Rakit Bom
Cerpen Dua Lelaki yang Meninggalkan Memori Nyeri